Penghentian Kasus Bupati Pemekasan Dinilai Janggal
Kamis, 19 Januari 2012 17:33:29 WIB
Reporter :
Nyuciek Asih
Surabaya (beritajatim.com) - Ahmad
Alhabsy SH, Direktur Pusat Studi Hukum dan Advokasi Publik menyatakan
bahwa penghentian kasus pemalsuan surat yang melibatkan Bupati Pamekasan
Kholilurrahman dengan alasan tidak cukup bukti adalah alasan yang penuh
dengan kejanggalan.
Perlu diketajui, Eriska Dewi Kusnanda lapor
ke Polda Jawa Timur dengan No Laporan LPB/ 484/ IX/ 2011 yang
bersangkutan melaporkan dugaan pelanggaran pasal 266 dan 263 KUHP dengan
terlapor Bupati Pamekasan Kholilurrahman yang tidak lain adalah suami
terlapor.
Polda Jawa Timur lalu menindaklanjuti laporan polisi
tersebut dengan melakukan penyelidikan yang dipimpin oleh Kanit
Pencurian di Unit II Jatanum. Dalam melakukan penyelidikan, sejumlah
saksi sudah diperiksa baik di Surabaya maupun diluar Surabaya.
Beberapa
saksi yang sudah diperiksa adalah kepala KUA Kecamatan Kesamben tempat
Kholilurrahman dan Eriska Dewi Kusnanda melakukan melakukan perkawinan
sebagaimana UU No 1 tahun 1974. Di samping itu mantan kepala desa Kemiri
Gede juga sudah dimintai keterangannya. Dari beberapa keterangan saksi
sebenarnya penyidik sudah menemukan unsur pidana yang dilakukan oleh
Kholilurrahman sebagaimana yang dilaporkan oleh Eriska Dewi Kusnanda.
Sebelumnya,
AKBP Ansori kasubdit Jatanum direktorat researse umum Polda Jatim
mengatakan selama penyelidikan tidak ditemukan unsur pidana, disamping
itu pelapor juga sudah mencabut laporannya. Sehingga berdasarkan hasil
gelar kasus ini harus dihentikan sambil menunggu adanya novum atau bukti
terbaru.
"Jika kita masyarakat awam tentu kita bisa memahami
apa yang dikatakan oleh seorang perwira Polda Jatim tersebut, mari kita
urai kejanggalan-kejanggalan penghentian kasus ini," ujar Ahmad Alhabsi,
Kamis (19/1/2012).
Ahmad Alhabsi lantas memaparkan secara panjang lebar. Soal tidak ditemukan unsur pidananya, misalnya.
Dalam
pasal 266 KUHP terdapat unsur 'karena menyuruh memasukkan keterangan
palsu’. Berarti ada pihak yang menyuruh dan disuruh. Pasal 266 digunakan
untuk menjerat orang yang menyuruh melakukan. Jadi, pasal 263 dan KUHP
adalah bagi orang yang membuat surat palsu, sedangkan pasal 266 KUHP
digunakan menjerat orang yang menyuruh melakukan.
Sesuai dengan
keterangan yang diberikan oleh Zainudin mantan staf KUA Kecamatan
Kesamben, bahwa dirinya memang meminta tolong kepada kepala desa Kemiri
Gede di Kabupaten Blitar Ali Fauzi untuk membuat dokumen kependudukan
atas nama Kholilurahman, surat keterangan duda mati atas nama
KHolilurahman, surat kematian istri Kholilurahman atas nama Royhana
sebagai syarat bisa melakukan perkawinan formal dengan Eriska Dewi
Kusnanda yang kemudian dikenal dengan istilah formulir C1, C2, C4, C5
dan C6.
Atas perintah KHolilurrahman dengan upah senilai Rp 250
ribu pada tahun 2004. Hal ini juga diperkuat dengan keterangan mantan
Kades Kemiri gede Ali Fauzi dalam pemerikasaan yang dilakukan oleh Polda
Jatim diluar Surabaya.
"Dengan kronologis seperti di atas,
logika hukum apa yang digunakan oleh perwira direskrim yang mengatakan
bahwa unsur pidananya tidak ditemukan padahal sudah jelas bahwa pasal
266 KUHP terdapat unsur menyuruh memasukkan keterangan palsu. Ini
pernyataan sesat dan menyesatkan publik," tambahnya.
Menanggapi
alasan pihak Polda Jatim bahwa pelapor sudah mencabut laporannya,
menurut Ahmad Alhabs, hal tersebut juga penuh kejanggalan. Sebab, sesuai
dengan buku karangan Prof DR Moeljanto SH delik dibedakan menjadi
beberapa bagian, namun yang lebih dititik beratkan adalah perbedaan
antara delik formil dengan delik aduan.
"Delik formil itu adalah
delik yang perumusannya dititik beratkan kepada perbuatan yang
dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan
seperti tercantum dalam rumusan delik," ucapnya.
Sebagai contoh,
penghasutan (pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan perasaan
kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih
golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210
KUHP); sumpah palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP);
pencurian (pasal 362 KUHP).
"Lalu apakah masih layak pasal 263
dan 266 KUHP penyelidikannya dihentikan karena ada pencabutan laporan
dari pelapor, " ucapnya penuh keheranan.
Pernyataan bahwa kasus
ini akan dibuka kembali jika ditemukan novum atau bukti baru, menurut
Ahmad Alhabs, ini penyataan yang bias memicu praduga negative dari
kalangan masyarakat, bisa jadi para penggiat organisasi non pemerintahan
(NGO) berpikiran bahwa sikap tersebut bertentangan dengan prinsip
kepastian hukum.
"Kalau memang dari awal tidak ditemukan unsur
pidananya maka Polda Jatim harus berani membuat surat perintah
penghentian penyelidikan (SP3) sehingga bisa merehabilitasi nama
terlapor, bukan malah mengeluarkan SP2HP ( Surat pemberitahuan
perkembangan hasil penyelidikan) yang bisa menimbulkan guyonan bahwa
Bupati Pamekasan tersandera dan berpotensi untuk dijadikan ATM
berjalan," kelakarnya.
Seperti diketahui pada tahun 2004 terjadi
perkawinan antara Eriska Dewi Kusnanda warga Blitar dengan Kholilurahman
warga Pamekasan yang kemudian memperoleh surat kependudukan dari Desa
Kemiri Gede Kabupaten Blitar di KUA Kesamben Kabupaten Blitar. Dalam
perkawinan tersebut Kholilurrahman memalsukan dokumen perkawinan yang
tertera dalam dokumen N1, N2, N4, N5 dan N6. [uci/but]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar