Senin, 29 Oktober 2012

Penghentian Kasus Bupati Pemekasan Dinilai Janggal

Penghentian Kasus Bupati Pemekasan Dinilai Janggal

Foto dok.

 
Kamis, 19 Januari 2012 17:33:29 WIB
Reporter : Nyuciek Asih


Surabaya (beritajatim.com) - Ahmad Alhabsy SH, Direktur Pusat Studi Hukum dan Advokasi Publik menyatakan bahwa penghentian kasus pemalsuan surat yang melibatkan Bupati Pamekasan Kholilurrahman dengan alasan tidak cukup bukti adalah alasan yang penuh dengan kejanggalan.

Perlu diketajui, Eriska Dewi Kusnanda lapor ke Polda Jawa Timur dengan No Laporan LPB/ 484/ IX/ 2011 yang bersangkutan melaporkan dugaan pelanggaran pasal 266 dan 263 KUHP dengan terlapor Bupati Pamekasan Kholilurrahman yang tidak lain adalah suami terlapor.

Polda Jawa Timur lalu menindaklanjuti laporan polisi tersebut dengan melakukan penyelidikan yang dipimpin oleh Kanit Pencurian di Unit II Jatanum. Dalam melakukan penyelidikan, sejumlah saksi sudah diperiksa baik di Surabaya maupun diluar Surabaya.

Beberapa saksi yang sudah diperiksa adalah kepala KUA Kecamatan Kesamben tempat Kholilurrahman dan Eriska Dewi Kusnanda melakukan melakukan perkawinan sebagaimana UU No 1 tahun 1974. Di samping itu mantan kepala desa Kemiri Gede juga sudah dimintai keterangannya. Dari beberapa keterangan saksi sebenarnya penyidik sudah menemukan unsur pidana yang dilakukan oleh Kholilurrahman sebagaimana yang dilaporkan oleh Eriska Dewi Kusnanda.

Sebelumnya, AKBP Ansori kasubdit Jatanum direktorat researse umum Polda Jatim mengatakan selama penyelidikan tidak ditemukan unsur pidana, disamping itu pelapor juga sudah mencabut laporannya. Sehingga berdasarkan hasil gelar kasus ini harus dihentikan sambil menunggu adanya novum atau bukti terbaru.

"Jika kita masyarakat awam tentu kita bisa memahami apa yang dikatakan oleh seorang perwira Polda Jatim tersebut, mari kita urai kejanggalan-kejanggalan penghentian kasus ini," ujar Ahmad Alhabsi, Kamis (19/1/2012).

Ahmad Alhabsi lantas memaparkan secara panjang lebar. Soal tidak ditemukan unsur pidananya, misalnya.

Dalam pasal 266 KUHP terdapat unsur 'karena menyuruh memasukkan keterangan palsu’. Berarti ada pihak yang menyuruh dan disuruh. Pasal 266 digunakan untuk menjerat orang yang menyuruh melakukan. Jadi, pasal 263 dan KUHP adalah bagi orang yang membuat surat palsu, sedangkan pasal 266 KUHP digunakan menjerat orang yang menyuruh melakukan.

Sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh Zainudin mantan staf KUA Kecamatan Kesamben, bahwa dirinya memang meminta tolong kepada kepala desa Kemiri Gede di Kabupaten Blitar Ali Fauzi untuk membuat dokumen kependudukan atas nama Kholilurahman, surat keterangan duda mati atas nama KHolilurahman, surat kematian istri Kholilurahman atas nama Royhana sebagai syarat bisa melakukan perkawinan formal dengan Eriska Dewi Kusnanda yang kemudian dikenal dengan istilah formulir C1, C2, C4, C5 dan C6. 

Atas perintah KHolilurrahman dengan upah senilai Rp 250 ribu pada tahun 2004. Hal ini juga diperkuat dengan keterangan mantan Kades Kemiri gede Ali Fauzi dalam pemerikasaan yang dilakukan oleh Polda Jatim diluar Surabaya.

"Dengan kronologis seperti di atas, logika hukum apa yang digunakan oleh perwira direskrim yang mengatakan bahwa unsur pidananya tidak ditemukan padahal sudah jelas bahwa pasal 266 KUHP terdapat unsur menyuruh memasukkan keterangan palsu. Ini pernyataan sesat dan menyesatkan publik," tambahnya.

Menanggapi alasan pihak Polda Jatim bahwa pelapor sudah mencabut laporannya, menurut Ahmad Alhabs, hal tersebut juga penuh kejanggalan. Sebab, sesuai dengan buku karangan Prof DR Moeljanto SH delik dibedakan menjadi beberapa bagian, namun yang lebih dititik beratkan adalah perbedaan antara delik formil dengan delik aduan.

"Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititik beratkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik," ucapnya.

Sebagai contoh, penghasutan (pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).

"Lalu apakah masih layak pasal 263 dan 266 KUHP penyelidikannya dihentikan karena ada pencabutan laporan dari pelapor, " ucapnya penuh keheranan.

Pernyataan bahwa kasus ini akan dibuka kembali jika ditemukan novum atau bukti baru, menurut Ahmad Alhabs, ini penyataan yang bias memicu praduga negative dari kalangan masyarakat, bisa jadi para penggiat organisasi non pemerintahan (NGO) berpikiran bahwa sikap tersebut bertentangan dengan prinsip kepastian hukum.

"Kalau memang dari awal  tidak ditemukan unsur pidananya maka Polda Jatim harus berani membuat surat perintah penghentian penyelidikan (SP3) sehingga bisa merehabilitasi nama terlapor, bukan malah mengeluarkan SP2HP ( Surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan) yang bisa menimbulkan guyonan  bahwa Bupati Pamekasan tersandera dan berpotensi untuk dijadikan ATM berjalan," kelakarnya.

Seperti diketahui pada tahun 2004 terjadi perkawinan antara Eriska Dewi Kusnanda warga Blitar dengan Kholilurahman warga Pamekasan yang kemudian memperoleh surat kependudukan dari Desa Kemiri Gede Kabupaten Blitar di KUA Kesamben Kabupaten Blitar. Dalam perkawinan tersebut Kholilurrahman memalsukan dokumen perkawinan yang tertera dalam dokumen N1, N2, N4, N5 dan N6. [uci/but]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar